Selasa, 06 November 2018

Menengok Cara Pembuatan Gula Semut Organik di Banyumas





Banyumas - Gula kelapa atau lebih dikenal dengan gula merah atau gula jawa mungkin sudah tidak asing lagi, khususnya untuk masyarakat jawa, gula kelapa banyak dimanfaatkan untuk berbagai makanan dan minuman sehari-hari.


Pemanfaatan gula kelapa sebagai salah satu bahan baku pembuatan makanan ternyata tidak hanya di tingkat rumah tangga, namun gula kelapa juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri seperti pabrik kecap dan insdustri dodol serta jenang.



Pengrajin gula kelapa merupakan industri rumah tangga yang cukup terkenal Di Banyumas, Jawa Tengah, salah satunya adalah di Kecamatan Cilongok. Sebagian besar warga Desa di Kecamatan tersebut merupakan pengrajin gula kelapa. Bahkan kerajinan pembuatan gula jawa ini sudah dilakoni hingga turun temurun oleh warganya.



Banyaknya makanan yang berbahan dasar gula kelapa ini karena aroma serta rasa yang khas karamel palma sangat cocok untuk menambah citarasa pada makanan, rasa karamel dan pasta yang ada di gula kelapa memang tidak bisa digantikan dengan jenis gula lain seperti gula tebu. 



Selain pemanfaatan gula kelapa sebagai gula cetak, saat ini gula kelapa juga dimanfaatkan dalam bentuk serbuk atau lebih dikenal dengan nama gula semut organik atau gula kristal.



Dinamakan gula semut ini karena bentuknya yang menyerupai dengan sarang semut yang ada di tanah. Gula semut juga memiliki beberapa kelebihan dibanding gula cetak pada umumnya, yakni dapat tahan lama disimpan dalam jangka waktu hingga dua tahun tanpa mengalami perubahan warna dan rasa jika di bungkus dalam tempat yang rapat, ini karena kadar air yang terdapat pada gula semut hanya berkisar 2-3 persen.



Dalam pembuatannya pun tidak berbeda dengan cara membuat gula cetak, yakni melalui proses pengambilan air nira yang dilakukan para penderes kelapa. Pagi itu Ajis Irwanto (57) mulai beranjak dari rumahnya untuk menuju pohon kelapa miliknya yang berada di sekitaran rumahnya, biasanya dia mulai beraktifitas menyadap air nira sekitar pukul 05.30 - 09.00 WIB dan mengambil air nira di atas pohon yang tingginya kira-kira mencapai 30 meter, dan bukan hanya satu pohon yang dia panjat melainkan 25 pohon pada pagi hari. 



Dia akan melanjutkan naik dan menyadap air nira itu pada sore harinya yakni sekitar pukul 16.00 - 19.00 WIB. Itu biasa dilakukan Ajis setiap harinya untuk menghasilkan gula semut organik.



Saat memanjat pohon biasanya Ajis yang lebih dikenal dengan sebutan penderes ini naik keatas pohon kelapa dengan membawa beberapa pongkor yang terbuat dari bambu atau wadah air nira yang sudah diberikan laru alami dari kapur dan cangkang manggis untuk mencegah terjadinya fermentasi. 



Jika laru tersebut tidak diberikan pada pongkor makan bisa menyebabkan air nira berubah menjadi asam. Ketika berada di atas pohon, Ajis dan para penderes lainnya akan mengambil air nira di dalam pongkor yang sebelumnya sudah dipasang untuk kemudian menggantinya dengan pongkor yang baru setelah sebelumnya menyayat bunga kelapa (Manggar) dengan sayatan baru agar air nira dapat kembali keluar.



"Air nira dapat terisi setelah 7-8 jam. Tapi setelah mendapat air nira jangan menunggu hingga 2 jam, itu harus segera di proses memasak agar air nira tidak berubah menjadi arak," kata Ajis, petani gula semut organik Desa Rancamaya, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Sabtu (26/10/2013).



Setelah Ajis turun dan membawa hasil Air nira yang di dapatnya hari ini, Dasinan (48) yang merupakan istri Ajis sibuk mempersiapkan tungku untuk memasak hasil air nira yang disadap suaminya tersebut. Dengan telaten dia memasukkan serbuk hasil gergajian kayu kedalam tungku pembakaran agar api dapat menyala dengan merata. 



Asap putih mengepul dengan sangat pekat membakar seluruh gergajian kayu yang sebelumnya dimasukkan, wajan pun di pasang dan air nira pun di tuangkan hingga mendidih dengan suhu antara 10-120 derajat celcius.



Untuk mengahasilkan gula semut setidaknya butuh waktu sekitar 4 jam hingga air nira benar-benar siap untuk dibuat gula semut. Saat nira mendidih, air nira akan tampak berwarna kecoklatan dan berbuih, Ketika berbuih itulah Dasinan dengan hati-hati menyerok buih-buih yang menggumpal di sekitaran wajan untuk memisahkan buih dari kotoran yang ada.



"Agar buihnya tidak meluap, kita tambahkan satu sendok makan minyak kelapa," jelas Dasinan yang sebelumnya merupakan pengrajin gula cetak dan beralih ke gula semut organik sejak dua tahun lalu setelah melihat pasar gula semut organik yang sangat menjanjikan.



Ketika air nira sudah mulai mengental dan meletup-letup, Ajis mulai mengecilkan api di tungku dengan cara menumpuk serbuk kayu ke segala arah agar tidak ada udara yang masuk kedalam tungku. Ini dimaksudkan agar nira tidak hangus saat dilakukan pengadukan. 



Dengan sigap tangan Dasinan terus mengaduk-aduk air nira yang ada didalam wajan yang sudah terlihat mulai menggumpal dan memadat serta mulai mengeras, pengadukan mulai dilakukan dengan gerakan memutar di dalam wajan agar kekentalan gula merata di setiap sisi wajan dan mulai mengkristal.



Setelah air nira tersebut keras, kemudian Dasinan dan Ajis mengangkat tungku wajan tersebut menggunakan sebilah kayu dan meletakkannya di sebuah ban untuk menjaga agar wajan tidak tumpah. Dasinan dan Ajis pun mulai melakukan penghalusan gula tersebut dengan menggunakan batok kelapa atau lebih dikenal oleh warga Banyumas dengan 'diguser'. 



Tapi untuk menjaga kualitas ekspor dan standar pembuatan gula semut organik, pasangan suami istri tersebut harus menggunakan penutup kepala dan masker, ini dimaksudkan agar rambut atau keringat mereka tidak masuk kedalam wajan yang berisi gula semut yang sedang di haluskan. Gula yang sudah di guser kemudian diayak untuk memisahkan gula halus dan gula yang masih kasar.



'Kalau masih kasar kita guser lagi sampai halus, setelah itu diayak kembali. Kalau sudah selesai baru kita jemur gula semut yang sudah jadi kurang lebih 6 jam di bawah terik matahari," ujarnya.



Dasinan menjelaskan, dulu dirinya merupakan pengrajin gula kelapa cetak, namun setelah beralih ke gula semut organik, kehidupannya berangsur-angsur mapan, dengan perbandingan harga yang jauh dibanding harga gula cetak yang saat ini hanya berkisar Rp 11 ribu per kilogram. 



"Sangat berbeda setelah saya beralih dari gula cetak ke gula semut, terutama masalah harga. Gula semut saat ini harganya Rp 16 ribu perkilogram dan sangat stabil karena sudah ekspor," jelasnya.



Dalam produksi gula semut di wilayah tersebut, yang berperan dalam proses control mutu dan kebersihan gula semut hingga layak ekpor adalah Koprasi Nira Satria. Di tempat tersebut nantinya para petani gula yang sudah mengumpulkan hasil gula semutnya ke para pengepul atau tergabung dalam kelompok tani yang mengumpulkan gula semutnya untuk kemudian kembali disortir dan dioven agar mencapai kualitas gula yang sangat baik dan setelah di peking baru gula semut dapat di ekspor ke negara-negara pemesan.



"Biasanya kita kirim ke Amerika, Eropa dan Jepang, karena kita sudah mempunyai sertifikasi dari Internasional Control Union untuk mengontrol kualitas dari gula semut tersebut. Selain itu Koprasi ini juga sudah punya 3 sertifikat untuk pemasaran ke Amerika, Jepang dan Eropa. Semua sertifikat itu sesuai dengan standart negara masing-masing," kata Zaenal Abidin, Koordinator Internal Control System (ICS) Koprasi Nira Satria.



Dalam sebulan setidaknya Koprasi nira Setria dapat memenuhi pasar gula semut sebanyak 70 ton. Dengan asumsi 60 ton digunakan untuk pasar ekspor dan 10 ton digunakan untuk pasar lokal. "Untuk lokal kita kirim ke daerah-daerah di Indonesia," ujarnya.



Dia mengungkapkan, bukan hanya gula semut organik yang diekspor, namun gula semut organik terus mengalami perkebangan terutama mengenai rasa, saat ini koperasi berencana mengembangkan sekitar 38 varian rasa dari gula semut yang sudah tersertifikasi. Biasanya permintaan gula semut yang mempunyai rasa tertentu seperti rasa jahe, kunyit, vanila tersebut lebih banyak diekspor ke Jepang.



"Ada sekitar 38 varian rasa yang sudah tersertifikasi, tapi yang sudah terealisasi baru 5 varian rasa dan 3 varian rasa di antaranya sudah diekspor," ungkapnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar